Friday, September 05, 2014

Welcome 12 Week #CeritaHamil

Assalamu'alaikum anakku sayang, kini usiamu diperut ibu sudah 12 minggu 3 hari, sehat terus yaaa sayang, dan tumbuhlah jadi anak yang sholeh/sholehah, pinter, cerdas, berbakti pada orangtua, rajin ibadah, dan semuaa yang baik melekat padamu.

Hari ini sungguh excited ketemu calon baby, dua hari kemarin sempat demam, disaranin npsegera ke dokter biar segera ketahuan kalau ada apa-apa, alhamdulillah sih semua sehat, mungkin ibunya aja kali yaa yang kurang vitamin, jadi gampang tepar, padahal juga ga ngapa-ngapain kecuali begadang hihihi

 Sebenarnya udah disaranin kontrol pas demam hari pertama, tapi dalam kondisi demam malas banget tuh duduk lama ngantri nunggu, mana kalau ke dsog, ngantrinya duhh 2-3 jam minimal. Udah males duluan. Hari kedua masih demam, ya sudahlah minta tolong tuan daftarin antrian, cuma kali ini saya mau nyoba kembali ke dsog (kita sebut dr. HR) tempat saya periksa pas masih promil, ternyata untuk hari itupun udah full, jadi harus daftar untuk besok (hari ini).

Oya, dulu waktu promil memang saya ke dsog yang saya datangin tadi ini, nah pas positif sih saya pindah ke dsog lain (kita sebut dr. JR), waktu itu pertimbangannya, pertama kita khan mau pakai askes tuh melahirkan nanti, jadi kita langsung ke praktek dr. JR yang nanganin di Rumah Sakit itu, pertimbangan lainnya obat di dr. JR ditebus diapotik diluar lokasi praktek, jadi sebenarnya si obat bisa ga ditebus semua. Sementara di dr. HR, karena tempat praktek beliau satu lokasi dengan Rumah Bersalin milik orangtuanya (ibunya si dokter ini bidan dulunya), biaya konsultasi sekalian sama penebusan obat, dan saya pernah tekor gegara ga bawa cash yang cukup hihihi ga mau malu dua kali sih sebenarnya.

 Tapi suasana kontrol di dr. HR ini lebih nyaman menurut saya, ruang kontrolnya tidak sebesar milik dr. JR sih, tapi ini malah yang bikin nyaman, bebas, habis USG langsung konsultasi. Kalau di dr. JR, masuk ruangan konsul langsung 3 pasien, di USG satu2 diruangan terpisah, lalu antri lagi nunggu konsultasi. Duh keroyokan ya? belum lagi kalau salah satu pasien yang seruangan dengan kita ada yang pasang KB, lamaaaa.

Biaya konsul di dr. JR dan dr. HR sebenarnya lebih murah dr. HR, mana USGnya lebih canggih dr. HR sih, hasil USGnya lebih nyataaa, duhh saya tadi sampai sumrigah sendiri, membuncah perasaannya liat si debay dengan ukuran yang lebih besar.


Ini dia, si mungil yang membuat hati ibu membuncah, ngeliatnya rasa lebih nyataaa, duhh saya sampai manggil2 tuan, histeris sendiri, padahal ya tuan bisa liat kali dari monitor wkwkwk

Nah dicetakin juga versi yang ini, pas dimonitor ini warnanya beneran nyata, cokelat kemerah-merahan, lebih nyata lihatnya. Duhh semakin bahagia rasanya. Dan karena saya bilang vitamin saya dari dokter sebelumnya juga masih ada, jadi tadi saya cuma dikenakan biaya konsultasi aja. Makin bahagia, ga jadi pusing 7keliling hihihi.

Perkiraan usia kehamilan berdasar dari USG kedua dokter ini juga beda, dr. JR, hari ini baru masuk UK 12W, nah di dr. HR tadi UKnya lebih 3 hari, jadi sekarang udah 12W3D, kata adek saya sih tiap mesin USG itu biasanya beda-beda, tapi jaraknya juga ga akan jauh2 dari itu. Yang penting sih calon bayinya ibu sehaaat yaaa?

Tadi habis diskusi sama tuan, saya milih lanjut di dr. HR aja, persoalan nanti pas mau melahirkannya kemana, yaa diliat nanti aja, pilih yang nyaman dulu deh kontrolnya.


Wednesday, September 03, 2014

Dilema, haruskah kembali kerja?

Waktu memilih resign beberapa tahun lalu dari kantor terakhir, saya statusnya belum nikah, masih jomblo pula, tapi harapannya resign, bangun dan mengembangkan bisnis, sehingga kelak ketika sudah menikah saya tidak usah kembali bekerja, cukup menjalankan bisnis saya, maka hidup saya akan terjamin.

Mimpi? hmm tidak sih, hanya saja yang terjadi tidak semudah yang saya bayangkan, saya tidak menyangka akan ketemu jodoh yang domisili serta pekerjaannya ratusan kilometer jauhnya dari rumah saya, dan karena saya memang udah komitmen ke diri sendiri, jika sudah menikah kudu, wajib, harus ngikut suami, jadi yaaa saya ikut pindah domisili.

Satu sisi, lebih mudah, karena saya tidak terikat pekerjaan diinstansi manapun kala itu, jadi mau ngikut pindah domisili sih oke-oke aja, ga harus ribet urus sana-sini. Disisi lain, bisnis yang sudah saya kembangkan selama kurang lebih 3 tahun itu harus saya tinggalkan, dan membuka bisnis serupa dikota yang baru, masih keliatan fleksibel tentu saja, tapi tentu akan berbeda, karena saya harus memulai dari nol semua-muanya, mencari konsumen yang cocok dengan kue-kue buatan saya, baik secara rasa maupun harga, dan ini tentu saja tidak mudah. Dari kota besar yang lumayan konsumtif, dimana harga tidak masalah yang penting rasa enak, pindah ke kota berkembang yang masih menganut paham kue besar, murah, rasa belakangan.

Selama 1 tahun ini saya masih terus berjuang dengan segala keterbatasan saya, jangan dikata saya pindah lalu perlengkapan baking saya lantas diboyong semua, tentu tidak, yang pertama karena masih numpang dirumah mertua, egois banget kalau bawa barang banyak, ntar serumah penuh barang-barang saya aja. Kedua, bisnis di kota sebelumnya juga diteruskan oleh adek saya, jadi barang2pun tidak tertinggal percuma.

Agak dilema akhir-akhir ini, hingga lewat setahun pernikahan kami belum sanggup untuk mengontrak rumah sendiri :( sedih tapi memang tidak bisa dipaksakan, kami sama-sama bukan dari golongan yang berlebih, jadi ketika memulai memasuki rumah tangga, kami betul-betul memulainya dengan 0, ya tabungan kami 0, bahkan hingga sekarang hahaha.

Rasanya tidak enak juga menumpang seperti ini, numpang makan, tidur, tidak bayar listrik, air, dll. Duh benalu banget kami ini. Tapi mau bagaimana lagi, tagihan tiap bulan sisa utang-utang sebenarnya masih menumpuk :-), belum kebutuhan pribadi yang harus dikali 2, sementara sumber penghasilan cuma 1. Jualan saya pun kadang ada dan tiada, itupun sudah dengan hasil yang tidak terlalu besar, cuma buat muterin modal aja sih.

Musim CPNS, saya disuruh ikut daftar, sebenarnya sih mau-mau aja ya daftar, walaupun saya ga ada rasa optimis ingin kembali bekerja, untuk keliatan aja kalau saya sedikit berusaha, tapi formasi jurusan saya tidak ada dikota ini, itu berarti saya harus kembali ke kota saya agar saya bisa mandaftar karena formasi untuk jurusan saya lumayan banyak diterima dikota tsb. Dalam kondisi keuangan mepet seperti ini, untuk pergi test disana yang mana test tersebut rencananya hanya akan saya ikuti setengah hati duhh beraaat, biaya kesana PP habis 300rban, duhh bisa pakai ngontrol kehamilan duit segitu.

Seorang teman ngajakin daftar sama-sama, awalnya memang saya iyain aja sih, tapi karena hingga saat ini setiap ditanya udah daftar atau belum saya selalu menjawab belum akhirnya dia nanya kenapa, saya jawab, masih nunggu formasi kota ini buka, belum recheck, kalau ada dikota ini mending dikota ini aja, suami juga agak setengah hati ngasih ijin kalau daftarnya terlalu jauh.

Teman saya malah sedikit menyalahkan ijin setengah hati dari suami :-) katanya suami saya harusnya ga usah ngekang-ngekang saya, toh ini juga untuk masa depan saya. Ingin menjawab kembali tapi saya rasa kami ga sepaham soal itu, jadi percuma.

Ketika saya dan suami memutuskan untuk berumah tangga, saya berkomitmen akan selalu mendampinginya, kami udah LDR sejak pacaran, masa iya pas nikah mesti LDM? dan saya jelas bukan type perempuan yang tahan dengan LDM. Ngurus suami dan anak itu cita-cita saya sejak kuliah, dan itu pernah saya ucapkan didepan dosen dan teman-teman saya ketika seorang dosen bertanya ke kami, mahasiswanya, apa cita-cita kamu kelak. Ada menjawab jadi psikolog, sebagian lagi mau jadi akademisi, dll. Saya donk jawab, saya ingin menjadi istri dan ibu yang baik untuk suami dan anak-anak saya kelak. sekelas ketawa ngakak dan anggap jawaban saya itu konyol dan terlalu sinetron. Mungkin iya, tapi itu artinya adalah ketika saya memilih menikah, seluruh diri saya, ilmu saya, bakti saya, akan saya curahkan untuk keluarga saya. Insya Allah.

Itu pula alasan kenapa saya memilih berbisnis dirumah dibanding kerja kantoran, karena saya ingin waktu saya lebih fleksibel, dan ternyata tidak semua orang memahami keinginan saya, dan memang sih tidak semua orang harus memahami, tapi cukup tidak memaksa dan sedikit mengintervensi saya aja sebenarnya. Saya paham beratnya keuangan kami, apalagi sebentar lagi akan bertambah jumlah dalam keluarga kecil kami, tentu berat jika post pemasukan hanya 1 sumber. Tapi saya juga ga tega jika nanti anak saya harus menjadi anak titip sana-sini karena saya harus bekerja. Duhh saya ingin melihat tumbuh kembang anak saya dari waktu ke waktu, dari dia mulai tengkurap, ngoceh, duduk, menyebutkan kata pertamanya, merangkak, berjalan dan semuaaa tahap perkembangannya. Saya ingin mencatat semua sebagai catatan cinta dari ibu untuknya kelak. Saya ingin tumbuh bersamanya. Dan saya ingin sayalah yang dicari pertama kali ketika dia butuh bantuan. Kondisi seperti ini tidak dipahami oleh orang lain, mungkin jawabannya, kalau penghasilan suami kamu bisa menutupi semuanya silahkan, kalau tidak? bagaimana memenuhi kebutuhan rumah tangga kalian? nunggu dibantuin dari langit?

Dan kembali lagi saya dilema :(